Dr. Mariman Darto, M.Si
Riset dan menulis adalah bagian penting kehidupannya. Sejak Lulus dari S1 Manajemen UMM, lalu melanjutkan S2 di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) UI dan terakhir S3 ilmu manajemen Universitas Mulawarman, dedikasi dan komitmen terhadap profesinya tak berubah. Baginya, karir sebagai peneliti sejak di CIDES selama 10 tahun adalah bekal penting di Lembaga Administrasi Negara dan menghantarkannya menjadi Kepala Puslatbang KDOD LAN sejak 2014 sampai sekarang. Menulis adalah instrumen pengubah dan pencerah kehidupan.

Kewarasan Publik

Dilihat : 743 kali.
https://www.goodreads.com

YUDI LATIF

Saudaraku, politisi dan intelektual itu penjaga kewarasan Publik. Agar kebijakan publik mencerminkan nalar publik, Pierre Bourdieu menulis tentang kemestian politisi untuk berperilaku bak ilmuwan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah berbasis fakta dan bukti. Ini penting agar kebijakan yang diambil tak semata karena pertimbangan politis dan subjektivitas kepentingan yang bisa membahayakan kehidupan publik.

Ironisnya, Joseph Stiglitz menengarai situasi paradoks kerap terjadi; para ilmuwan/intelektual sendiri justru berperilaku bak politisi. Ketika mereka terlibat dalam proses pembuatan rekomendasi kebijakan, argumennya lebih padat politisasi dengan mengabaikan fakta dan bukti demi menyenangkan para politisi yang dilayaninya.

Adalah lumrah jika para politisi tak memiliki keluasan erudisi. Namun sungguh bencana jika intelektual menanggalkan kedalaman ilmu dan akal sehat. Jika perkembangan politik kita hari ini seperti berkutat dalam lingkaran involutif, tanpa terobosan visioner yang memberi panduan ke depan, sebab pokoknya: jagat intelektual mengalami proses mediokratisasi.

Fenomena mediokritas intelektual ini berakar pada apa yang disebut Frank Furudi sebagai “the cult of philistism“, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian berlebihan terhadap interes material dan praktis. Universitas sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan praktis.

Yang mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap “elitis”, “tak membumi”, dan “marjinal”. Kedalaman ilmu dihindari, kedangkalan dirayakan. Universitas menjatuhkan marwahnya di hadapan politisi. Jarak ilmuwan dan politisi menipis. Kebijakan politik tak memiliki landasan pengetahuan kokoh. Pilihan yang diambil lebih sering sebagai tiruan mentah dari model negara luar, tanpa menakar kesesuaiannya dengan konteks keindonesiaan.

Dalam ketundukan logika intelektual pada nalar politisi, intelektual bisa jadi stempel pembenar penyimpangan kekuasaan. Nasib rakyat diperlakukan sekadar soal statistika. “One death is a tragedy, one million is statistic.

https://www.instagram.com/p/CtNHDLNBpHg/?igshid=MTc4MmM1YmI2Ng==

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

English English Indonesian Indonesian