Dr. Mariman Darto, M.Si
Riset dan menulis adalah bagian penting kehidupannya. Sejak Lulus dari S1 Manajemen UMM, lalu melanjutkan S2 di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) UI dan terakhir S3 ilmu manajemen Universitas Mulawarman, dedikasi dan komitmen terhadap profesinya tak berubah. Baginya, karir sebagai peneliti sejak di CIDES selama 10 tahun adalah bekal penting di Lembaga Administrasi Negara dan menghantarkannya menjadi Kepala Puslatbang KDOD LAN sejak 2014 sampai sekarang. Menulis adalah instrumen pengubah dan pencerah kehidupan.

Mengingat Akar Sejarah

Dilihat : 47 kali.
https://www.wlc.edu/academics/programs/history.html

YUDI LATIF

Saudaraku, selama sepekan kemarin saya melakukan perjalanan ke belahan timur Indonesia. Bermula dari Manado dan berakhir di Maluku Utara, melacak jejak-jejak sejarah yang menjadi akar ke-indonesiaan.

Istilah sejarah itu berasal dari bahasa Arab, artinya pohon. Adapun gerak tumbuh suatu pohon sangat ditentukan oleh daya topang akarnya. Maka, hendaklah kita senantiasa mengingat dan merawat akar sejarah.

Di Manado, saya tak lupa berziarah ke makam Imam Bonjol–seorang pahlawan nasional berasal dari Sumatera Barat dan meninggal dalam pengasingan di daerah Lota, Minahasa.

Di Maluku Utara, saya menjadi pembicara dalam diskusi buku “Mozaik Rempah” di Ternate. Sebuah buku yang membawa ingatan kita ke “titik nol” jalur rempah dunia–pusat komoditi terpenting pada masanya yang telah menimbulkan perubahan besar dalam sejarah dunia. Sehingga beberapa petilasan jalur rempah di Maluku Utara dan Maluku layak dinobatkan sebagai situs warisan dunia.

Saya juga berkesempatan mengunjungi keraton Kesultanan Tidore dan diterima oleh Joajau (Perdana Menteri), Yang Mulia Bapak Amien Faroek. Empat kesultanan di Maluku Utara menjadi penyangga penting bagi integrasi keindonesiaan. Khusus Kerajaan Tidore, jejak pengaruh kekuasaannya terentang jauh hingga ke tanah Papua. Tata kelola negaranya sudah sangat maju. Kekuasaan tak bergantung pada monarki absolut. Di sana sudah mengenal perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Dan praktik demokrasi perwakilan melalui mekanisme musyawarah antar elemen representasi sudah menjadi tradisi.

Oleh-oleh dari perjalanan ini bisa saya simpulkan bahwa kuatnya tenunan rasa kebangsaan tidak sekadar mengandalkan pasak besar organisasi politik dan birokrasi negara, melainkan oleh rajutan serat-serat tipis keindonesiaan. Serat tipis yang memediasi fusi antar-horison, menyatukan rantai ingatan dan lapis/elemen tradisi, serta memantik kesukarelaan inisiatif ragam agen sosial dalam usaha menyelesaikan problem-problem konkrit kewargaan dengan semangat keadaban publik yang non-diskriminatif. (Belajar Merunduk, Yudi Latif)

https://www.instagram.com/p/C0m9iEGywJt/?igshid=MTc4MmM1YmI2Ng==

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

English English Indonesian Indonesian